Gak terasa udah 70 tahun negara kita terhindar dari jajahan bangsa lain secara fisik. Tahun demi tahun berganti, tapi ada satu pertanyaan yang belum pernah terhapuskan dari top list pertanyaan ketika lagu Dirgahayu Republik Indonesia dikumandangkan di setiap penjuru tanah air.
Apakah Indonesia sudah benar - benar merdeka?
Pertanyaan ini selalu dijadikan atribut headline di berbagai media, mulai dari media cetak, media elektronik sampai media warkop dimana bapak - bapak sering banget ngomongin soal politik dan ekonomi Indonesia. Pertanyaan yang cukup menohok, ga cuma ditujukan buat elite - elite politik yang duduk di gedung gedong sana, tetapi ditujukan ke semua makhluk berakal yang ada di bumi tercinta Indonesia.
Menarik dan patut untuk diperbincangkan terkait Negara "yang katanya besar" Indonesia dilihat dari setiap aspek kehidupan untuk mencari tahu apakah kita benar - benar merdeka atau tidak. Indonesia adalah suatu negara "yang katanya lagi" demokrasi yang dipimpin oleh seorang kepala negara yang juga merangkap sebagai kepala pemerintahan. Pemimpin negara yang biasa kita sebut sebagai presiden ini, seringkali jadi faktor penentu apakah Indonesia bisa merdeka atau tidak. Soekarno, siapa yang ga kenal pionir bangsa ini. Ketegasan, kerendahan hati menjadi faktor utama dia bisa memimpin bangsa ini meraih kemerdekaan. Soeharto, berani tegas dan cerdas. Siapa rakyat kecil yang ga suka ama doi. Masih enak jamanku toh? adalah tagline masa kini yang mengungkapkan kebesaran beliau di masa silam. Habibi, satu kata yang tergambar lewat sepak terjang dan filmnya doi, Cerdas. Gusdur, pemimpin nyentrik merangkul semua orang dengan filosofi "kebebasan" yang dia berikan. Megawati, penerus Sang Proklamator. SBY, kalem dan tegas jadi kepribadiannya. Mampu mengentas hutang IMF. Jokowi, pionir blusukan. [Masih dalam proses.....].
Di tengah "kehebatan" mereka, tentu saja banyak juga kecacatan saat mereka memimpin. Tidak netral, diktator, salah momentum, bebas kebablasan, penjual banyak aset negara, tertutup ketegasan, dan terlalu patuh pada partai pendukung, adalah satu dua faktor yang mencoreng bagaimana seharusnya seorang presiden memimpin. Mulai dari sinilah, kecacatan mulai merambah ke seluruh celah - celah kehidupan.
Merangsek ke bawah presiden, yaitu Menteri. Sebelum bapak presiden jadi presiden, doi sudah ngetag "kursi" untuk menteri sesuai berapa banyak persentase partai pendukung. Sulit untuk melihat Menteri yang benar - benar duduk di kursinya sesuai kecapakan dan spesialisasinya. (http://nasional.kompas.com/read/2014/05/16/2244048/mustahil.ada.koalisi.tanpa.bagi-bagi.kursi). Inilah yang kemudian banyak terjadi kasus KKN yang melibatkan parpol dan menteri. (http://news.okezone.com/read/2014/09/08/339/1036072/menteri-dari-parpol-lebih-rentan-terjerat-korupsi). Kita beralih ke lembaga legislatif. Siapa yang ga tau dengan bobroknya "DPR". Dewan Per"yang katanya"wakilan Rakyat juga sangat sulit kita berharap darinya. Penuh dengan intrik, kontroversi, dan sensasi. Hanya sedikit orang - orang DPR yang mementingkan rakyat dibanding kepentingan partainya. (http://www.merdeka.com/politik/kerja-tidak-becus-dpr-sekarang-jangan-dipilih-lagi.html). Melipir ke Lembaga Yudikatif. Hampir sama seperti dua sebelumnya. Ga jauh beda. Jual beli perkara terjadi. Suap menyuap legal disana. (http://nasional.sindonews.com/read/704388/13/mahfud-md-tuding-yudikatif-lembaga-terkorup-1357536770).
Indonesia sebagai negara hukum, punya undang - undang sebagai pedoman bagi warganya. Ibarat pisau bermata dua, undang - undang juga jadi celah yang banyak dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab untuk meraih jalan pintas. Hal ini juga dipicu karena kurangnya pemahaman terhadap Pancasila. (http://www.antaranews.com/berita/451412/lemahnya-pemahaman-pancasila-picu-rendahnya-kualitas-uu).
Menarik dan patut untuk diperbincangkan terkait Negara "yang katanya besar" Indonesia dilihat dari setiap aspek kehidupan untuk mencari tahu apakah kita benar - benar merdeka atau tidak. Indonesia adalah suatu negara "yang katanya lagi" demokrasi yang dipimpin oleh seorang kepala negara yang juga merangkap sebagai kepala pemerintahan. Pemimpin negara yang biasa kita sebut sebagai presiden ini, seringkali jadi faktor penentu apakah Indonesia bisa merdeka atau tidak. Soekarno, siapa yang ga kenal pionir bangsa ini. Ketegasan, kerendahan hati menjadi faktor utama dia bisa memimpin bangsa ini meraih kemerdekaan. Soeharto, berani tegas dan cerdas. Siapa rakyat kecil yang ga suka ama doi. Masih enak jamanku toh? adalah tagline masa kini yang mengungkapkan kebesaran beliau di masa silam. Habibi, satu kata yang tergambar lewat sepak terjang dan filmnya doi, Cerdas. Gusdur, pemimpin nyentrik merangkul semua orang dengan filosofi "kebebasan" yang dia berikan. Megawati, penerus Sang Proklamator. SBY, kalem dan tegas jadi kepribadiannya. Mampu mengentas hutang IMF. Jokowi, pionir blusukan. [Masih dalam proses.....].
Di tengah "kehebatan" mereka, tentu saja banyak juga kecacatan saat mereka memimpin. Tidak netral, diktator, salah momentum, bebas kebablasan, penjual banyak aset negara, tertutup ketegasan, dan terlalu patuh pada partai pendukung, adalah satu dua faktor yang mencoreng bagaimana seharusnya seorang presiden memimpin. Mulai dari sinilah, kecacatan mulai merambah ke seluruh celah - celah kehidupan.
Merangsek ke bawah presiden, yaitu Menteri. Sebelum bapak presiden jadi presiden, doi sudah ngetag "kursi" untuk menteri sesuai berapa banyak persentase partai pendukung. Sulit untuk melihat Menteri yang benar - benar duduk di kursinya sesuai kecapakan dan spesialisasinya. (http://nasional.kompas.com/read/2014/05/16/2244048/mustahil.ada.koalisi.tanpa.bagi-bagi.kursi). Inilah yang kemudian banyak terjadi kasus KKN yang melibatkan parpol dan menteri. (http://news.okezone.com/read/2014/09/08/339/1036072/menteri-dari-parpol-lebih-rentan-terjerat-korupsi). Kita beralih ke lembaga legislatif. Siapa yang ga tau dengan bobroknya "DPR". Dewan Per"yang katanya"wakilan Rakyat juga sangat sulit kita berharap darinya. Penuh dengan intrik, kontroversi, dan sensasi. Hanya sedikit orang - orang DPR yang mementingkan rakyat dibanding kepentingan partainya. (http://www.merdeka.com/politik/kerja-tidak-becus-dpr-sekarang-jangan-dipilih-lagi.html). Melipir ke Lembaga Yudikatif. Hampir sama seperti dua sebelumnya. Ga jauh beda. Jual beli perkara terjadi. Suap menyuap legal disana. (http://nasional.sindonews.com/read/704388/13/mahfud-md-tuding-yudikatif-lembaga-terkorup-1357536770).
Indonesia sebagai negara hukum, punya undang - undang sebagai pedoman bagi warganya. Ibarat pisau bermata dua, undang - undang juga jadi celah yang banyak dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab untuk meraih jalan pintas. Hal ini juga dipicu karena kurangnya pemahaman terhadap Pancasila. (http://www.antaranews.com/berita/451412/lemahnya-pemahaman-pancasila-picu-rendahnya-kualitas-uu).
Berbicara mengenai wilayah yang Indonesia, mungkin tiga kata akan spontan terbesit oleh pikiran kita. Luas dan Kaya. Gimana gak dengan luas 1.904.569 km2 dan terdiri dari 13.466 pulau, Indonesia menjadi kepulauan terbesar di Indonesia. Hasil kekayaan kita melimpah ruah kemana - mana. Mungkin tujuh turunan ga akan habis - habis. Namun, sekali lagi apa yang terjadi? Kekayaan ini dipegang oleh perusahaan - perusahaan luar. Mengeruk kekayaan kita tanpa batas. Migas, emas, tambang, batu bara, intan, semua hilang tanpa bekas. Kita hanya menikmati uang hasil kontrak mereka. eh bukan kita. Lebih tepatnya mereka. Mereka yang bekerja sama denga asing. Lalu apa bedanya kita dengan 100 tahun yang lalu? (http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/15/krisis-energi-energi-indonesia-dikuasai-asing/ , http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/07/31/092501380/bpk-sebut-sektor-energi-indonesia-dikuasai-asing). Impor bahan pangan yang berkepanjangan. Aneh tapi nyata memang. Lihat bagaimana media memberitakan perbatasan Indonesia, boleh dibilang sangat miris. Negara tetangga membangun daerah perbatasannya untuk memperlihatkan kebesarannya dibanding negara di sebelahnya. Namun Indonesia? justru melupakan dan meninggalkan daerah perbatasan tersebut. Banyak rakyat perbatasan yang dengan nasionalismenya mempertahankan darah nusantara, tetapi mereka hidup dari tanah tetangga.
Masuk ke rakyat Indonesia. Kemiskinan masih terus menghantui kalangan bawah dan menengah. Harga kebutuhan rakyat, bbm sering naik. Nilai tukar Rupiah dan harga saham labil, meluncur bebas. Barang - barang dipalsukan dengan enaknya, demi menjaga ekonomi keluarga katanya. Beras, bakso, kerupuk, dendeng seringkali dicampur dengan bahan kimiawi demi menekan harga produksi. Kesulitan mendapat pekerjaan juga jadi kesulitan rakyat Indonesia. Ini memicu pengangguran, kejahatan, pembegalan, perampokan. Terkadang sifat buruk tersebut merasuk ke orang baik. Seks bebas, narkoba banyak dicoba - coba oleh orang yang sebelumnya belum pernah mencoba. MOS sekolah dan kuliah yang berjalan dengan pembodohan massal. Guru bahkan dosen yang tidak mau tahu, cuek. Giliran ada atasan yang mengintropeksi, semua kelabakan, pura - pura baik. PALSU.
Semua penuh dengan kepalsuan. Pencitraan polisi yang sangat baik di media televisi, namun kenyataannya tak jauh beda dengan preman. Anggota oknum pejabat kalo ditilang, sok berkuasa sok berhak untuk tidak ditilang. Kelakuan orang kaya yang dengan sombongnya seolah - olah uang adalah segalanya. Dan memang betul di tanah air ini, uang adalah segalanya. Orang Indonesia mengidolakan orang luar negeri. Giliran ada orang Indonesia uweleeek (baca:jelek.red) nikah sama bule cuantik, heboh di media massa mengatakan ga pantes ini itulah, akan cerai berapa taun kemudian. Yang gue dan sebagian orang tau dan pahami adalah mereka hanya IRI! Banyak orang Indonesia yang membanggakan orang luar negeri dan menjelek - jelekkan negaranya sendiri (kaya gue). Namun ketika ada orang Indonesia yang sukses di luar sana, mereka labil mulai membangga banggakan diri sebagai orang Indonesia. Padahal orang Indonesia yang sukses di luar negeri pernah mendapat perlakuan bernada merendahkan terhadap karyanya dari orang Indonesia sebelum mereka sukses. Itu semua juga bisa dipicu sama media - media elektronik yang kurang mendidik, media tersebut hanya menayangkan tentang percintaan, penderitaan, kekejaman. Jarang sekali yang mempertontonkan tentang inspirasi hidup!
Bila dilihat dari teorinya, syarat berdirinya sebuah negara adalah Rakyat, Wilayah, Pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Mungkin secara de Jure, kita secara sempurna mendapat pengakuan dari negara lain. Tapi secara konstitutif? Apakah kita benar - benar merdeka? Bahkan apakah kita bisa benar - benar patut dibilang sebuah negara?
Masih banyak lagi keburukan - keburukan yang ada disini, ga akan cukup bagi gue untuk mengulas semua. Dan sangat tidak etik untuk membuka aib sendiri. Tetapi disini gue hanya bermaksud untuk mengingatkan bahwa kita jauh dari merdeka. Masih JAUH. Mungkin ini hanya penilaian dari orang bodoh yang ga tau apa - apa. Mohon dimaafkan apabila gue juga belum bisa berkontribusi di tanah air ini dan hanya bisa ngomong tanpa batas disini. Sekali lagi, gue hanya mau mengingatkan akan kondisi negara ini yang sering terlupa oleh sebagian orang. Bahkan masih banyak di luar sana, ketika ditanya berapa umur Indonesia, mereka hanya bisa geleng geleng kepala. Namun ketika ditanya Lionel Messi berasal dari klub mana? Mereka semua hapal di luar kepala.
Tapi di lain hal, banyak yang masih bisa dibanggakan dari negara ini. Masih banyak orang - orang yang dapat mengisi masa depan Indonesia yang lebih baik. Setidaknya, kita masih punya harapan untuk bisa lebih merdeka di masa depan. Tak peduli berapa tahun lagi. Kami akan tunggu dan berjuang semaksimal yang kita bisa. Sama seperti beberapa puluh tahun silam, ketika para pahlawan dengan sabar menunggu dan berperang dengan peluh darah merah mencapai kemerdekaan dari jajahan bangsa lain.
Selamat ulang tahun Indonesia, semoga lekas lepas dari penjajahan, MERDEKA!
Masuk ke rakyat Indonesia. Kemiskinan masih terus menghantui kalangan bawah dan menengah. Harga kebutuhan rakyat, bbm sering naik. Nilai tukar Rupiah dan harga saham labil, meluncur bebas. Barang - barang dipalsukan dengan enaknya, demi menjaga ekonomi keluarga katanya. Beras, bakso, kerupuk, dendeng seringkali dicampur dengan bahan kimiawi demi menekan harga produksi. Kesulitan mendapat pekerjaan juga jadi kesulitan rakyat Indonesia. Ini memicu pengangguran, kejahatan, pembegalan, perampokan. Terkadang sifat buruk tersebut merasuk ke orang baik. Seks bebas, narkoba banyak dicoba - coba oleh orang yang sebelumnya belum pernah mencoba. MOS sekolah dan kuliah yang berjalan dengan pembodohan massal. Guru bahkan dosen yang tidak mau tahu, cuek. Giliran ada atasan yang mengintropeksi, semua kelabakan, pura - pura baik. PALSU.
Semua penuh dengan kepalsuan. Pencitraan polisi yang sangat baik di media televisi, namun kenyataannya tak jauh beda dengan preman. Anggota oknum pejabat kalo ditilang, sok berkuasa sok berhak untuk tidak ditilang. Kelakuan orang kaya yang dengan sombongnya seolah - olah uang adalah segalanya. Dan memang betul di tanah air ini, uang adalah segalanya. Orang Indonesia mengidolakan orang luar negeri. Giliran ada orang Indonesia uweleeek (baca:jelek.red) nikah sama bule cuantik, heboh di media massa mengatakan ga pantes ini itulah, akan cerai berapa taun kemudian. Yang gue dan sebagian orang tau dan pahami adalah mereka hanya IRI! Banyak orang Indonesia yang membanggakan orang luar negeri dan menjelek - jelekkan negaranya sendiri (kaya gue). Namun ketika ada orang Indonesia yang sukses di luar sana, mereka labil mulai membangga banggakan diri sebagai orang Indonesia. Padahal orang Indonesia yang sukses di luar negeri pernah mendapat perlakuan bernada merendahkan terhadap karyanya dari orang Indonesia sebelum mereka sukses. Itu semua juga bisa dipicu sama media - media elektronik yang kurang mendidik, media tersebut hanya menayangkan tentang percintaan, penderitaan, kekejaman. Jarang sekali yang mempertontonkan tentang inspirasi hidup!
Bila dilihat dari teorinya, syarat berdirinya sebuah negara adalah Rakyat, Wilayah, Pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Mungkin secara de Jure, kita secara sempurna mendapat pengakuan dari negara lain. Tapi secara konstitutif? Apakah kita benar - benar merdeka? Bahkan apakah kita bisa benar - benar patut dibilang sebuah negara?
Masih banyak lagi keburukan - keburukan yang ada disini, ga akan cukup bagi gue untuk mengulas semua. Dan sangat tidak etik untuk membuka aib sendiri. Tetapi disini gue hanya bermaksud untuk mengingatkan bahwa kita jauh dari merdeka. Masih JAUH. Mungkin ini hanya penilaian dari orang bodoh yang ga tau apa - apa. Mohon dimaafkan apabila gue juga belum bisa berkontribusi di tanah air ini dan hanya bisa ngomong tanpa batas disini. Sekali lagi, gue hanya mau mengingatkan akan kondisi negara ini yang sering terlupa oleh sebagian orang. Bahkan masih banyak di luar sana, ketika ditanya berapa umur Indonesia, mereka hanya bisa geleng geleng kepala. Namun ketika ditanya Lionel Messi berasal dari klub mana? Mereka semua hapal di luar kepala.
Tapi di lain hal, banyak yang masih bisa dibanggakan dari negara ini. Masih banyak orang - orang yang dapat mengisi masa depan Indonesia yang lebih baik. Setidaknya, kita masih punya harapan untuk bisa lebih merdeka di masa depan. Tak peduli berapa tahun lagi. Kami akan tunggu dan berjuang semaksimal yang kita bisa. Sama seperti beberapa puluh tahun silam, ketika para pahlawan dengan sabar menunggu dan berperang dengan peluh darah merah mencapai kemerdekaan dari jajahan bangsa lain.
Selamat ulang tahun Indonesia, semoga lekas lepas dari penjajahan, MERDEKA!
Tujuh belas agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap setia
Membela negara kita
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap setia
Membela negara kita
DIRGAHAYU
REPUBLIK INDONESIA